Kamis, 02 Juli 2015 0 komentar

Karena do'a ibu adalah keajaiban


Saya selalu percaya keajaiban yang terjadi dalam hidup saya tidak lain adalah hasil dari do'a ibu di rumah yang selalu berharap yang terbaik untuk anaknya. misalnya ketika selepas lulus kuliah, tidak pernah terlintas sedikitpun akan ke luar negri tahun itu juga, walaupun saya selalu bermimpi bisa kuliah di luar negri atau sekedar jalan-jalan ke luar negri, tapi kesempatan yang tidak diduga ini datang secara mendadak, ada tawaran ngajar di thailand dan dalam waktu singkat saya mendaftar dan minta izin ibu, kemudian ibu mengizinkan dan saya dikabari lolos dan positif bisa berangkat. antara sedih sekaligus senang juga tidak percaya. saya tidak sempat pulang kampung dulu karena waktu yang begitu singkat sementara keberangkatan pun tinggal menghitung hari, belum lagi ngurus pembuatan pasport dan berkas-berkas yang lain. tapi dengan waktu yang singkat itu Allah mempermudah jalannya dan akhirnya saya bisa ke luar negri ke dua negara sekaligus, malasyia dan thailand. pengalaman yang luar biasa dalam hidup. 
sepulang dari thailand saya sudah berazam untuk melanjutkan studi s2, maunya si di luar negri tapi bahasa inggris saya yang masih berantakan jadi saya berniat s2 di dalam negri saja, harapannya bisa dapet beasiswa tapi ternyata banyak sekali beasiswa yang deadlinenya sudah lewat dan saya terlambat. akhirnya dengan uang seadanya hasil dari mengajar di thailand saya berkeyakinan bisa lanjut studi. tapi setelah saya sampaikan niat saya pada ibu rupanya ibu kurang setuju karena adik saya yang kedua juga saat ini sedang kuliah dan rupanya beasiswanya cuma di awal saja, untuk semester selanjutnya harus biaya sendiri, maka tanpa mengeluh panjang lebar saya niatkan untuk mendahulukan kuliah adik saya, ibu di rumah juga sedang mengalami kesulitan ekonomi dan saya tidak sanggup harus membuat ibu bersusah payah lagi mencari uang untuk biaya adik-adik sekolah, maka akhirnya saya putuskan dengan berat hati tahun ini saya tidak kuliah dulu, biar saya bantu adik dulu kuliah, mungkin tahun besok kalau ada rizqinya bisa daftar beasiswa. kalaupun tidak biar tahun ini saya juga bisa menabung untuk biaya kuliah sendiri, yang terpenting tidak lagi melibatkan ibu dalam urusan pribadi saya. 
setelah niat tidak kuliah itu saya putuskan lalu saya mendaftar guru di sekolah Muhammadiyah yang katanya cukup elit, saya tidak perduli itu elit atau bukan tapi saya mendaftar karena saya harus kerja untuk membantu ibu, sejak awal saya tahu informasinya di sekolah yang saya tuju butuhnya guru laki-laki tapi saya berdo'a dan mencoba mendaftar, ikut tes sampai tahap akhir dan hasilnya saya lolos seleksi dan saya diterima mengajar di sekolah tersebut. buat saya ini luar biasa dan benar-benar keajaiban, semuanya dipermudah dari awal dan akhirnya Allah berikan jalannya untuk saya, dan saya yakin ibu juga mendo'akan saya memperoleh pekerjaan yang baik dan halal. 
saya selalu yakin saat ini adalah jalan terbaik yang harus saya lalui, meskipun tidak bisa lanjut studi s2 tahun ini mungkin bisa tahun besok, rizqi akan selalu ada untuk orang-orang yang berusaha dan berdo'a. maka hari ini saya akan menjalankan keinginan ibu agar saya bekerja dengan sepenuh hati, karena ridho ibu adalah segalanya, dan do'anya adalah keajaiban. 
saya akan tetap berusaha jadi anak ibu yang terbaik... do'akan saya selalu ya bu, :-) 

Selasa, 30 Juni 2015 0 komentar

Fatiha


Namanya Fatiha, dia orang jawa asli, usianya sekarang baru 25 tahun, aktivis perempuan di kampus, sedang melanjutkan pascasarjana dan profesinya seorang konsultan. Muda, energik, dan cerdas.
Bagaimana nak rangga, mau taaruf tidak dengan akhwat ini.
Ungkap umi misma, membuka obrolan malam itu dengan penuh semangat.  
Sepertinya dia perempuan yang luar biasa ya umi, saya siap taaruf dengannya. Jawabku tegas.
Alhamdulillah, nanti umi akan hubungi fatiha dulu, besok biasanya dia mampir kemari untuk bertemu anak-anak santri. Jelas umi misma dengan senyum bahagianya.
Saya pamit dulu umi, salam buat abi, 1 minggu lagi saya baru bisa kemari, makasih umi, assalamualaikum.
Pamitku dengan suasana hati yang mulai deg-degan.
Iya nak, waalaikumsalam.  
Jawab umi misma dengan senyum keibuannya yang menghangatkan.
Aku rangga, usiaku 28 tahun, sudah lulus S2 dan profesiku dosen, aku juga buka usaha bisnis kafe woman only, kafe khusus para wanita yang ingin menghabiskan waktunya di kafe dengan bebas karena semuanya khusus perempuan. Tujuanku untuk berdakwah pada kaum perempuan, karena di setiap minggunya di kafe ada pengajian khusus perempuan. Di usiaku yang masih kepala 2 ini aku ingin segera menunaikan sunnah Rosul, untuk itu aku meminta bantuan umi misma, perempuan hebat dan keibuan yang juga tidak lain adalah bu lekku. Abi, panggilan untuk suami umi misma, adalah kakak pertama dari ayahku, yang tidak lain berarti pak lek. Aku lebih senang memanggil keduanya dengan panggilan abi dan umi, sebab mereka adalah pengasuh pondok pesantren khusus putri di jogja, namanya pondok pesntren darul qalam.
Hari ini umi misma mengenalkanku dengan seorang perempuan yang luar biasa, meskipun aku tidak mengenalnya dan belum pernah bertemu dengannya, tapi mendengar umi misma menceritakan tentangnya membuatku kagum dan memutuskan untuk bertaaruf dengannya. Perempuan mana yang hari ini mau jadi aktivis kampus di usia yang sudah 25, usia perempuan yang kebanyakan akan memilih segera menikah.
***
Assalamualaikum umi, apakabar umi, sudah satu minggu ini tidak bertemu umi kok rasanya saya kangen.
Seorang perempuan dengan balutan gamis dan jilbab panjang coklat tiba-tiba muncul dari pintu asrama putri darul qalam.
Waalaikumsalam, alhamdulillah nak fatiha, akhirnya mampir juga kesini, umi juga kangen, ada sesuatu yang ingin umi sampaikan.
Ungkap perempuan yang dipanggil umi.
Apa ada ya umi, kok saya jadi khawatir, ada masalah lagi dengan anak?Biar anaknya ketemu dulu dengan saya.
Tanya perempuan yang dipanggil fatiha penasaran.
Nak fatiha ini yang dikhawatirkan selalu anak santri, bukan, ini tidak ada hubungan dengan santri, tapi tentang nak fatiha, kehidupan nak fatiha.
Jelas umi.
Kehidupanku? Maaf terkait apa umi?
Tanyanya penasaran. Wajahnya mendadak memerah cemas. Jauh dilubuk hatinya ia mulai merasa khawatir.  
Begini, ada laki-laki baik yang sedang mencari calon istri, anaknya baik, udah lulus s2, sekarang jadi dosen, dia juga punya usaha, usianya saat ini 28 tahun, dan dia ingin taaruf dengan nak fatiha. Bagaimana nak fatiha, setuju ndak umi taarufkan.
Ungkap umi dengan penjelasan yang cukup bijaksana.
Ya ampun umi, saya kira ada apa.
Ia mulai bernafas lega. Rasa khawatirnya mendadak sirna. Wajah tegangnya meregang.
Loh, umi serius nak, di usia nak fatiha sekarang ini diluar sana banyak gadis yang menginginkan segera menikah, seharusnya nak fatiha juga begitu. Jelas umi misma memprovokasi.
Umi ini, jodoh kan sudah ada yang ngatur, saya tidak khawatir kok umi.
Ungkap fatiha berusaha menolak secara halus. Dalam hatinya juga berpikir soal menikah, siapa yang tak ingin menikah dan bahagia berkeluarga, tapi ada sesuatu hal yang menahannya. Sesuatu yang ia sembunyikan sejak dulu dari siapapun. Dan bila sudah membahas soal pernikahan sampai tahap taaruf, sesuatu itu mau tak mau akan tersingkap, dan masa lalu kelam yang sudah ia kubur mati-matian akan membuatnya teringat kembali.
Apa ndak dicoba dulu nak.kalau ndak cocok kan boleh tidak dilanjutkan.
Bujuk umi dengan wajah kecewa yang berusaha ditahannya. 
Umi, saya mohon maaf sudah mengecewakan umi, tapi untuk saat ini saya belum memikirkan soal menikah, masih ada hal lain yang harus saya kerjakan. Kalau sudah waktunya, saya pasti akan menikah.
Ungkapnya dengan wajah penuh sesal. Sejujurnya ia tak ingin mengecewakan apalagi sampai menyakiti hati umi misma, perempuan paruh baya yang sudah dia anggap ibu kandungnya sendiri. Tapi apa mau dikata, ketakutan masa lalu membuatnya takut untuk taaruf.
Baiklah nak, umi tak bisa memaksa, walaupun umi sudah begitu bersemangat menceritakan nak fatiha pada pihak laki-laki karena umi merasa kalian sama-sama cocok, tapi keputusan tetap ada di tangan nak fatiha.
Jelas umi dengan semburat kecewa di wajahnya yang tak bisa lagi disembunyikan.
Sekali lagi maafin saya umi.
Wajah penuh sesal fatiha pun tak bisa ia sembunyikan.
Akhirnya fatiha pun pamit pulang. Suasana kamar umi misma kembali lengang, yang tersisa hanya umi misma yang merasa kecewa dengan keputusan fatiha yang tak diduganya. Entah ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan fatiha darinya.
Siang itu menjadi siang yang canggung. Tidak hanya bagi umi misma, sepulang dari asrama darul qalam, fatiha, gadis sederhana yang punya lesung pipi di wajahnya itu pun merasa bersalah, pulang ke kontrakannya, ia terduduk lemas di kursi. Tidak ada alasan untuk menolak seseorang yang punya niat baik untuk taaruf, apalagi orang yang dikenal umi misma dan suaminya, pasti orang ini adalah laki-laki yang baik dan soleh. Dia juga tidak punya alasan untuk menunda pernikahan. Namun masa lalu kelamnya membuat ingatannya kembali kalau sudah pembahasan soal pernikahan. Kalau sudah soal taaruf,  ia masih tidak punya keberanian untuk menceritakan siapa dia sebenarnya. Ia takut ketika calon laki-laki yang ingin taaruf dengannya tahu siapa dia sebenarnya justru akan memilih pergi dan tidak melanjutkan taaruf.
***
1 minggu kemudian, di asrama darul qalam.
Assalamualaikum, umi, abi..
Seorang lelaki berkacamata muncul dibalik pintu.
Waalaikumsalam, eh rangga, udah pulang dari bandung yah, abi lagi ngisi pengajian di masjid. Mari masuk nak.
Jawab umi dari dalam kamarnya.
Saya ganggu yah umi, maaf yah, ini tadi mampir sambil bawa oleh-oleh dari bandung.
Jelas rangga sambil memberikan sekantong plastik dodol dan mochi, makanan khas jawa barat.
Ndak kok, umi Cuma lagi nonton berita sambil nunggu abi pulang dari masjid. Matur nuwun nih rangga baik sekali bawa oleh-oleh segala buat umi sama abi. Gimana kabar ibu dan bapak di rumah?
Jawab umi sembari menerima plastik dari tangan rangga.
Ibu bapak baik-baik saja umi, tadi saya juga pulang dulu ke rumah, ngobrol sama bapak, terus ke rumah saya istirahat dan lanjut ke sini deh.
Jelas rangga.
Oh syukurlah kalau begitu.
Balas umi, kali ini dengan raut wajah yang berbeda.
Umi kenapa, kok mendadak wajahnya jadi lemes gitu, umi sakit?
Tanya rangga khawatir.
Bukan nak, umi baik-baik saja. Ini loh soal taaruf dengan perempuan bernama fatiha itu, sudah umi sampaikan maksud baik rangga, sudah umi jelaskan kondisi rangga sekarang tapi umi ndak nyangka dengan jawabannya. Dia bilang belum memikirkan untuk menikah dalam waktu dekat ini jadi dia menolak untuk taaruf.
Jelas umi dengan raut wajah kecewa yang sudah ia simpan berhari-hari lalu.
Begitu ya mi, tapi memang jodoh kan tidak bisa dipaksakan, saya berharap ada jalan bisa mengenalnya lebih dalam, entah bagaimana caranya biar diatur Allah.
Rangga menjawab dengan tenang. Meski jauh dalam hatinya ia juga kecewa, tapi ia merasa menemukan sesuatu yang baru, dan ia ingin semua mengalir dengan semestinya, tidak perlu dipaksa.
Dan sejak kejadian gagalnya taaruf itu semua berjalan seperti biasanya, rangga masih sibuk dengan bisnis kafe dan menjadi dosen di universitas. Sementara fatiha juga tak kalah sibuk, ia sedang proses merampungkan thesisnya, menulis buku tentang perempuan di ranah publik dan tetap aktif menjadi konsultan untuk para wanita baik kalangan remaja maupun ibu beranak lima. Dan umi misma, ibu pondok pesantren darul qalam, yang menjadi penghubung taaruf mereka perlahan mulai melupakan kekecewaannya dan tetap akrab dengan fatiha seperti biasanya. Hingga suatu hari, takdir mempertemukan kedua insan yang gagal taaruf itu. Kalau memang jodoh bagaimana pun jalannya Allah pasti akan mempertemukannya.
Suatu siang di ruang dosen pascasarjana universitas negri ternama di kota Jogja, kampus tempat fatiha melanjutkan s2 nya. Saat itu fatiha sedang sibuk-sibuknya bimbingan dengan dosen pembimbing thesisnya. Tapi di saat-saat penting itulah profesor yang membimbing thesisnya menyampaikan berita tentang kepergiannya ke Malasyia. Ada pertemuan penting ilmuwan dan cendekiawan ke negri jirah itu. Dan kepergian itu tidak hanya satu dua hari tapi sekitar 6 bulan, karena setelah pertemuan di Malasyia, profesor pembimbingnya akan melanjutkan perjalanannya ke Australia, ada semacam pelatihan atau training 6 bulan untuk profesor dan guru besar. Berita itu seperti petir menyambar, fatiha terduduk lemas mendengarnya. Namun di tengah-tengah kaget dan kesalnya ia dengan kepergian dosen pembimbingnya, profesor pembimbingnya itu mengatakan akan ada dosen pembimbing penggantinya, masih muda, cerdas dan lebih kompeten dengan bidang yang sekarang menjadi topik penelitian fatiha, yaitu tentang gender dan kesetaraan. Profesornya mengatakan dosen ini sebenarnya dosen baru, usianya juga masih muda, tapi karena kualitas dan kecerdasannya, dalam waktu singkat ia sudah diangkat jadi doktor.
Mendengar penjelasan tentang dosen pembimbing barunya fatiha menjadi bergairah dan penuh semangat, ia tak sabar ingin segera bertemu dengan dosen pembimbing barunya, ia ingin segera menyelesaikan thesisnya, ingin segera lulus, dan hal lainnya, kalau memang muda, ia bisa nyaman berdiskusi dengan dosen pembimbingnya itu, karena biasanya, dosen muda itu ghirah keilmuannya masih di masa-masa keemasaan. Artinya penuh semangat yang berapi-api, maklum jiwa muda.
Setelah mendapat nomor baru dosen pembimbing barunya dari profesor pembimbingnya, ia segera menghubungi dan menanyakan kapan bisa bertemu dan mendiskusikan tentang thesisnya. dan sore itu, dua insan yang gagal taaruf itu bertemu, fatiha tidak tahu, laki-laki baik yang sudah ia tolak tawarannya untuk taaruf itu adalah dosen pembimbing muda yang ingin segera ia temui. Tuhan memang selalu punya rencana terbaik untuk mereka.
Sore itu, langit masih sama, cerah, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, tapi suasana sore ini akan ada yang berbeda, ada takdir baru yang tertulis. Fatiha tengah bersemangat menuju perpustakaan, dosen pembimbing barunya itu mengatakan untuk bertemu di perpustakaan, sekalian dia ingin mengembalikan buku pinjamannya. Dan ketika fatiha sampai di depan pintu perpustakaan besar dan 3 lantai itu, seorang laki-laki muda, memakai setelan kemeja panjang coklat muda, celana hitam panjang sedang duduk menghadap jendela, tengah asyik membaca buku, melihatnya fatiha sudah langsung bisa menebak itulah dosen barunya itu, sebab tadi di sms dikatakan ia menunggu di lantai 1 memakai kemeja coklat.
Dengan nafas tersengal, ia menyapa lebih dulu dosen pembimbing barunya itu.
Assalamualaikum, permisi, apa bapak yang akan menjadi dosen...
Belum selesai kalimatnya terucap, ia mendadak berdiri mematung ketika dosen pembimbing barunya itu berbalik badan menjawab salamnya dan mereka bertatap mata secara langsung.
Sore itu takdir baru tertulis, dua insan yang gagal taaruf justru dipertemukan di waktu dan momen yang tidak pernah mereka duga.
Fatiha mendadak kikuk, ia tertunduk malu, semangat yang ia bawa untuk bertemu dosen pembimbing barunya itu seketika sirna berubah menjadi rasa malu dan canggung.
Waalaikumsalam, iya saya dosen pembimbing baru anda, saya rangga. Ada yang bisa bantu?
Jawab rangga, dosen pembimbing baru fatiha sekaligus laki-laki yang ingin taaruf dengannya tapi gagal dengan tenang seperti tidak ada yang terjadi.
Fatiha mengenal wajah rangga, ketika umi misma mengenalkan tentang laki-laki yang ingin taaruf dengannya sekaligus juga umi memperlihatkan foto rangga di handphone umi misma, foto saat rangga di wisuda, juga ada foto rangga sendirian di depan sebuah kafe, kafe milik rangga.
Dan fatiha mengingatnya, ia mengingat jelas wajah yang sejujurnya ingin juga ia kenal, ingin bertaaruf tapi lagi-lagi alasan masa lalu membuatnya memilih menolak. Sementara rangga, meskipun ia juga tahu gadis itu adalah fatiha, mahasiswa bimbingannya, tentu saja ia tahu, selain umi misma juga memperlihatkan foto fatiha, profesor pembimbing yang meminta menggantikannya menyerahkan data pribadi fatiha termasuk di dalamnya ada foto ukuran 3x4, dengan jilbab merah tua, gadis itu tersenyum manis di foto, tapi rangga sudah berjanji pada dirinya akan berpura-pura tidak tahu, ia tak ingin keadaan itu membuat mereka canggung, ia juga ingin mengenal lebih jauh tentang gadis itu, sementara itu ia harus berpura-pura tidak terjadi apapun atau tidak pernah mengenal fatiha sebelumnya.
Jadi siapa namanya mba? Ada yang bisa saya bantu?
Pertanyaan rangga membuat fatiha tersadar dari kekagetannya.
Eh, em, iya nama saya fatiha, jadi saya mengangkat tema gender dan kesetaraan ini karena saya merasa perlu membenarkan pemahaman masyarakat terkait kesetaraan yang dimaksud dalam Islam, isu ini sedang hangat-hangatnya dalam dunia keilmuan kita saat ini.
Dan mengalirlah diskusi keduanya. Akting hebat rangga membuat fatiha lebih nyaman berbicara, ia perlahan melupakan tentang rasa malu dan canggungnya, ia berbisik dalam hatinya, mungkin saja rangga tidak tahu fatiha, jadi dia bisa bersikap biasa saja, karena itu aku juga harus bersikap biasa saja. Dan rangga memang bersikap profesional, dalam hal ini ia posisinya sebagai dosen pembimbing dan fatiha mahasiswanya, jangan sampai soal hati menganggu ranah keilmuan mereka, apalagi ini terkait thesis fatiha, hal penting yang tidak ingin ia ganggu. Selama 1 bulan lebih intensitas pertemuan mereka jadi lebih sering, dan thesis fatiha sudah hampir selesai, tinggal menunggu panggilan sidang, sekitar 1 minggu lagi mungkin ia bisa sidang thesis. Sementara jauh dalam hati rangga, ketertarikannya pada gadis itu tidak berkurang sedikitpun justru bertambah setiap harinya, begitu juga fatiha, diam-diam dalam hatinya ia juga menyukai rangga. Dan selepas sidang, ia memantapkan hatinya untuk bertemu dengan umi misma, menyampaikan keputusan yang mengejutkan.
Ia mengunjungi umi misma dan basa basi menceritakan kebahagiaannya tentang sidang thesisnya yang sukses, sekitar 1 bulan lagi ia wisuda pascasarjana. Dan ia juga menyampaikan tentang hal mengejutkan umi misma, hal yang sudah ia pikirkan matang-matang sejak sebelum sidang thesis. Ia ingin bertaaruf dengan rangga, laki-laki yang ia tolak beberapa bulan lalu. Dan meminta maaf pada umi bahwa keputusan ini baru bisa ia sampaikan sekarang, mungkin karena ia juga ingin melepas tanggungjawab s2 nya lebih dulu baru menikah, ditambah ia juga diam-diam sudah menyukai rangga, dosen pembimbingnya.
Akhirnya keesokan harinya, di malam jumat, kedua insan itu bertemu lagi, bukan sebagai dosen dan mahasiswa tapi sebagai dua orang yang sudah menyimpan perasaan dalam hatinya masing-masing dan berniat baik untuk menjalankan sunnah Rosul bila taaruf ini berjalan lancar dan Allah menghendaki.
Rangga mendahului percakapan, ia menjelaskan tentang dirinya, kesibukannya, hobbynya sampai rencana-rencana masa depannya ia jelaskan pada fatiha, dengan maksud bila memang fatiha kelak menjadi pendamping hidupnya bisa tahu impian laki-laki berkacamata itu.
Giliran fatiha, perasaan yang ada dalam hatinya membuatnya lupa tentang siapa dirinya, tentang masa lalunya, dan pada saat gilirannya tiba memperkenalkan diri, mendadak ia gemetaran, tangannya berkeringat dingin, tenggorokannya tercekat, keberaniannya hilang dalam sekejap. Tentu saja sikap aneh fatiha itu membuat umi misma, abi soleh dan rangga menjadi heran dan terkejut. Mengapa tiba-tiba fatiha menjadi ketakutan.
Perasaannya yang tulus pada rangga dan keinginannya untuk menunaikan separuh agama memunculkan keberaniannya meski berat, meski kata-kata tercekat di kerongkongan, ia berusaha tetap buka suara, dan puncaknya, air mata yang menjadi pertanyaan besar yang hadir pada malam itu seketika mengalir deras di pipi gadis sederhana sekaligus menyimpan tanya itu.
Semua yang hadir heran, ada apa dengan fatiha, gadis berani, cerdas dan tangguh itu, malam ini mendadak ia menjadi terlihat ketakutan, khawatir dan menyimpan banyak tanya.
Ada apa nak? Nak fatiha sakit? Kenapa tiba-tiba menangis?
Umi misma yang duduk berdekatan dengan abi soleh berpindah duduk mendekati fatiha, mengusap punggungnya lembut dan mencoba bertanya dengan perlahan-lahan tentang apa yang ia rasakan.
Ia sadar betul, masa lalu adalah ingatan pahit yang tak bisa lenyap, tapi ia akan tetap ada dalam ingatan, hanya saja apakah masa lalu itu bisa diterima oleh rangga, laki-laki yang sedang bertaaruf dengannya, tapi menyimpannya sendirian adalah juga dosa terbesarnya sebab menyimpan aibnya pada laki-laki yang mungkin saja akan menjadi pasangan hidupnya. Air mata dihapusnya dengan tissue yang ada di atas meja tamu. Ia beranikan diri buka suara.
Mas rangga, umi, abi, saya minta maaf kalau sikap saya menganggu semuanya, saya takut apa yang saya ceritakan tidak bisa diterima oleh mas rangga, saya takut mas rangga justru akan membatalkan taaruf ini setelah tahu siapa saya sebenarnya.
Alhamdulillah saya sekarang memang muslimah yang bisa menjalankan ibadah dengan baik meskipun saya tidak tahu Allah akan menerima ibadah saya atau tidak, tapi saya sudah berusaha berubah sejak 10 tahun yang lalu. Saya bisa kuliah dan belajar dengan baik pada saat sekarang berkat usaha saya ingin berubah dan mencari beasiswa tanpa kenal lelah. Saya juga bisa menjadi konsultan untuk para wanita yang bermasalah karena masa lalu saya yang bermasalah. Umi, abi, mas rangga, saya sudah tidak perawan lagi.
Tercekat. Air matanya tumpah, fatiha sesenggukan berusaha menahan kesedihan dan lukanya, sementara ia ingin melanjutkan penjelasannya, umi misma sudah memeluknya erat.
Saya dulu gadis bermasalah ketika SMA, pergaulan saya buruk, saya pernah pacaran dengan seorang laki-laki sampai kejadian buruk itu menimpa saya, karena khilaf dan bodohnya saya ketika itu saya rela begitu saja melakukan dosa besar dengan laki-laki yang waktu itu saya cintai, selepas itu dia malah meninggalkan saya karena saya memintanya menikah dan dia tidak mau. Alhamdulillah Allah masih memberikan saya hidayah dan petunjukNya, saya tidak sampai hamil dan semenjak itu saya pindah ke pesantren dan belajar ilmu agama hingga bisa sampai sekarang seperti ini.
Suasana di ruang tamu umi misma lengang. Tidak terkecuali rangga, umi dan abi menahan nafas berat. Mereka tidak pernah menduga hal seperti ini bisa terjadi pada fatiha dan tentu saja ini membuat rangga kaget dan down.
Rangga meminta pamit pulang lebih dulu, forum taaruf malam itu ditutup, tidak ada kata-kata apapun, rangga tidak menolak atau menjawab, ia hanya melangkah pergi dengan lemas dan kaget bukan main. Umi misma memeluk fatiha dan menenagkannnya, abi soleh masuk kamar.
15 menit kemudian, fatiha pamit pulang. Tangisnya sudah reda, tapi sedih dan kecewa di hatinya tentu saja tidak hilang, ia memang harus siap dengan kenyataan rangga pasti akan terkejut dan menolaknya.
1 hari kemudian.
Pagi-pagi buta, fatiha terbangun, ia masih dirundung duka, hanya do’a yang bisa ia panjatkan padaNya, diberikan jalan kemudahan untuk semua masalahnya. Dan itulah ajaibnya do’a, saat itu juga Tuhan kabulkan.
Ada 1 pesan masuk di hpnya.
Assalamualaikum.. Fatiha yang disayang Allah, sepanjang hari saya berdo’a pada Allah diberikan jawaban atas keresahan saya, dan Allah memberikan kamu sebagai jawabannya. Saya tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, saya hanya tahu fatiha yang sekarang, muslimah baik dan cerdas, dan saya ingin kamu di masa depan. Kalau kamu siap menjadi ibu dari anak-anak saya kelak datanglah ke rumah umi misma, saya sudah menunggumu disini dengan pak penghulu. Tak perlu dandan, kamu sudah cantik kok J.
Tanpa ragu, fatiha segera berganti pakaian dan meninggalkan kamarnya yang masih berantakan, menuju seseorang yang ia rindukan. Seseorang yang akan menggenapi hatinya dan menerima semua kekurangannya.










Selasa, 12 Mei 2015 0 komentar

Merampas kebahagiaan


V,aku takut dengan masa depanku. 
Apakau sudah tahu masa depan alya?
Tidak,tentu saja aku tidak tahu masa depan, masa depan adalah misteri,seperti gua gelap di hutan yang ganas, tak terlihat, tidak tahu ada apa di gua itu, apakah binatang buas atau justru tumpukan emas.
Bukankah wajar bila aku takut, bila aku khawatir dengan yang terjadi di masa depan V?
Tentu saja aku juga khawatir alya, aku juga takut bila semua yang sudah kuatur sedemikian rupa dalam benakku mendadak runtuh tak tersisa,menjadi sebuah tumpukan sesal dan luka. Tapi aku ingin bahagia alya,aku ingin bahagia. Sebab yang merampas kebahagiaan kita saat iniadalah masa lalu yang sudah berlalu, yang selalu ada dalam ingatan,kita mengingatnya, meratapinya, menyesalinya dan hati kita penuh dengan kesedihan yang tak ada hentinya. Dan alya, masa depan. Masadepan yang belum jelas, yang tidak bisa diraba, yang tidak bisa dikira-kira, tidak bisa kita atur bagaimana inginnya. Kedua hal itulah yang sudah merampas kebahagiaan kita.
V,apa itu artinya aku juga harus menjadi seseorang yang berhati lapang?
Untuk apa menjadi seseorang yang berhati lapang alya?
Sebab masa depan yang belum jelas dan tak terlihat, membuat kita pun menjadi tidak jelas dan tak terlihat. Barangkali, semakin kita terus berjalan maju menggapai masa depan justru kita semakin tak bisa saling melihat dengan jelas. Kau yang akan melepas genggamanku atau aku yang melepas genggamanmu kita tidak tahu, yang kita temui hanya jalanan gelap tak terlihat.
Maka kita harus menguatkan genggaman kita alya.
Mungkin saja, genggaman kita sudah kuat, tapi dengan tidak jelasnya jalan yang kita tempuh, kita tidak pernah tahu ada tangan yang lebih kuat menunggu kita di akhir perjalanan. Mungkin saja bukan, sebab kita tidak tahu masa depan.
Alya..kalau begitu kapan kita akan bahagia?

Memikirkan masa depan selalu membuat kita terampas segala hal, merampas waktu, merampas pikiran, bahkan merampas kebahagiaan. sebab itu, apa yang sudah kita lewati di hari kemarin jadikan pelajaran dan kenangan sementara masa depan yang tak terlihat itu, jangan terlalu sibuk memikirkannya. terkadang solusi terbaik dari rasa takut dan khawatir adalah dengan do'a pasrah yang akan berbuah keajaiban. jadi hari ini berbahagialah serta berdo'alah.. 

0 komentar

Patah


Dan kamu, dengan luka yang sudah kubalut, dengan sedih yang sudah kuhapus, dengan namamu yang sudah kulupa, tiba-tiba datang kembali mengetuk pintu yang sudah kukunci.
Aku masih tetap menguncinya, mengintip malu-malu kamu yang berdiri di luar masih dengan tangan kosong, seperti dulu. Sejujurnya pintu itu ingin kubuka perlahan-lahan untuk memastikan kamu masih berdiri disana, dengan tangan kosong, tak membawa sesuatu yang sejak dulu kuminta.
Aku tidak membukanya, ia terbuka dengan sendirinya, mungkin kuncinya rusak, mungkin sudah usang, ketika ketukanmu terlampau keras pintu itu terbuka dengan sendirinya.
Dan kamu, masih berdiri di depan pintu, dengan wajah yang tak bisa kubaca, entah ingin masuk ke dalamnya atau mungkin sekedar memastikan bahwa aku menguncinya dengan benar.
Seperti dulu, kamu hanya berdiri di depan pintu, pintu sudah terbuka, dan aku menahan sesak di dalamnya.



0 komentar

Pulang part II ; Kota yang tak pernah terlupakan


Petra, apa kau tahu yang disebut dengan kota yang tak akan terlupakan?
Sore itu, aku bersama sahabat baikku petra menikmati gorengan di angkringan dekat kost, hujan yang sempat menyapa sejak pagi tadi akhirnya berakhir sore ini, dan menikmati sore yang indah adalah duduk-duduk di warung makan, sambil menikmati gorengan, makanan khas di kota manapun, dan selalu jadi favorit.
Em, kota yang bersejarah pastinya. Petra yang masih mengunyah gorengan menjawab ala kadarnya.
Iya, memang kota yang bersejarah, bahkan melebihi kota yang ada di mesir, yunani atau pusat-pusat peradaban dan sejarah dunia. Jawabku.
Mana ada kota yang lebih dari kota yang ada di negeri bersejarah seperti mesir, andalusia dan sebagainya, menurutku sih. Sambil tersenyum meragukan dengan jawaban sendiri.
Ada petra, kota yang semua orang tak akan pernah bisa melupakannya, dimanapun ia berada, kota itu akan selalu diingatnya. Bagaimana mungkin juga orang akan melupakannya, sementara sejarah hidupnya bermula dari sana.
Pembicaraan sore itu berakhir begitu saja, tanpa jawaban tanpa pertanyaan lanjutan, petra terburu-buru pergi, ada sms mendadak dari teman kostnya yang minta dijemput di bandara, dan aku, dengan sejuta pertanyaan dan kegundahan, kulangkahkan kaki ini pulang ke kost-kostan.
Aku rangga, seorang mahasiswa yang merantau ke kota orang, akhir bulan ini aku akan di wisuda, anggap saja ini berita baik, tapi ada kegelisahan lain yang sedang menimpaku. Selama merantau aku terbiasa hidup di kost, berteman dengan banyak orang dari berbagai daerah, menjadi tahu karakter tiap orang mewakili dari mana dia berasal. Sudah hampir 4 tahun aku berada di perantauan, dan selama 4 tahun itu aku tak pernah pulang. Setiap kali itu pula, ibu selalu bertanya, kapan pulang nak, dan aku hanya bisa diam lalu kumatikan telepon, lalu beralasan bahwa baterai hpku habis, atau tiba-tiba pulsanya habis, dan alasan-alasan lain yang bisa menyelamatkanku.
Entah kenapa sejak 4 tahun lalu menginjakkan kaki di perantauan, perasaan nyaman itu muncul, keinginan untuk tetap tinggal dan enggan untuk kembali itu juga hadir bersamaan, dan keinginan tetap tinggal itulah yang selalu menang. Setiap kali waktu luang dan berlibur, kuisi dengan hal-hal yang belum pernah kulakukan.
Namun di saat-saat waktu yang tepat untuk kembali, ada sesuatu yang berusaha menghalangi. Saat semua hal sudah kulakukan dan aku ingin kembali, hal lain yang lebih besar menghalangi. Berhari-hari kegundahan ini menyelimuti, tapi aku belum tahu harus memutuskan seperti apa. Di tengah kegelisahan sore itu, hujan kembali menyapa. Kupandangi sekitarku, ada sesak yang tertahan, ingatanku tiba-tiba kembali pada saat usiaku sembilan tahun.
12 tahun yang lalu..
Bu, aku main diluar boleh ya? Pinta seorang anak pada ibunya.
Diluar hujan nak, nanti kamu sakit. Tapi diluar banyak yang main hujan-hujanan, aku juga mau bu.
Sambil merengek anak itu memohon pada ibunya. Dua detik kemudian, wajah sang ibu sudah melunak, ibu mana yang tahan dengan rayuan anak yang disayanginya.
Dengan gembira anak kecil yang masih lugu itu berlari ke luar rumah, dan diluar teman-teman seusianya sudah menunggunya sejak tadi. Bermain hujan-hujanan akhirnya menjadi rutinitasnya tiap kali hujan deras hadir, hampir tak pernah ia lewatkan.
Ingatan itu menyesakkan sungguh. Yah, anak kecil yang lugu itu adalah aku, sejuknya kotaku, ramainya anak-anak kecil yang bermain di bawah deras hujan membuat suasana hujan tak lagi mencekam, lihatlah disini, di kota perantauan ini, tak ada satu bocah pun yang kutemukan diluar rumah, bermain hujan-hujanan.
Sejak kecil aku terbiasa tinggal di rumah, saat orang-orang sibuk ingin merubah nasib ke ibukota, aku dan keluargaku masih asik dengan rumah dan kesibukan kami, ayah dan ibu yang seorang guru di sekolah, dan kedua adikku dan aku yang saat itu masih bersekolah. Kami memang bukan keluarga terpandang, tapi ayah dan ibu selalu mengajarkan untuk mementingkan pendidikan, bagaimana sulitnya orang berilmu saat ini. Satu persatu ingatan tentang rumah kembali hadir, halaman rumah yang penuh tanaman kesukaan ibu, kedua adikku yang selalu bertengkar dan berebut mainan, ayah yang selalu pulang sore, aku teringat semua itu, dan aku yang tiap sore bersama teman-teman bermain bola. Ingatan yang baru kusadari setelah 4 tahun berlalu di kota orang ini, aku baru sadar dengan semua hal yang indah itu..
4 tahun bukan waktu yang sebentar, ibu bilang banyak yang sudah berubah di kota  romantis itu, jalanannya, bangunannya, ibu bilang saat ini kota kami sudah hampir menyerupai ibukota, padatnya transportasi, bangunan yang tinggi bermunculan, kedua adikku sudah masuk SMA, ayah sudah pensiun, dan ibu pun sudah lama berhenti mengajar.
Hujan sore itu perlahan-lahan berubah menjadi gerimis kecil, dan halaman yang menemaniku selama 4 tahun ini mulai tampak di depan mata. Ya, halaman kost yang sudah ketempati selama aku tinggal di kota ini. Kurebahkan tubuhku sesaat, sebelum waktu sholat maghrib tiba.
Ingatan rumah kembali hadir, seperti kepingan puzzle yang hampir terkumpul, aku ingat bagaimana tiap menjelang maghrib ayah mengajakku ke masjid dekat rumah, ayah bilang sholat berjamaah pahalanya lebih besar dibanding sholat sendirian di rumah, kecuali untuk perempuan. Perempuan boleh saja sholat di rumah. Semenjak itu, kebiasaan sholat maghrib jamaah di masjid menjadi salah satu hal baik yang bisa kubawa ke kota perantauan ini, ya setidaknya aku masih mau jamaah sholat maghrib dan isya, selainnya, lebih nyaman dilakukan di kost.
Suasana sore yang syahdu, langit yang kemerah-merahan, ramainya anak-anak kecil berlomba ke masjid, anak-anak muda yang nongkrong di jalan, ibu-ibu yang berkumpul di serambi masjid sambil menggendong anak bayi mereka yang masih menyusui. Entah kenapa di kotaku, masjid menjadi segala pusat kegiatan, tak hanya untuk yang baik-baik saja seperti sholat, pengajian, tapi juga tempat ibu-ibu berkumpul kala sore sambil berbincang tentang rumah tangga mereka, bergosip artis, dan membicarakan pemerintah yang masih saja tak pernah adil pada rakyat kecil. Biasanya kala sore, ayah udah anteng di depan tv, menonton berita sore, ibu menyiapkan makan malam, kedua adikku bermain diluar rumah, dan aku, bersama langit yang malu, aku berdiskusi sendiri, dengan buku-buku, dengan game, dengan majalah-majalah bola. Mungkin karena itu juga selama kuliah, saat waktu-waktu libur aku malah sibuk traveling dan mengunjungi tempat-tempat baru, itu mungkin sebagai luapan emosi karena selama usia remaja aku selalu tinggal di rumah, tepatnya, tak suka berlama-lama diluar.
Selama ini aku asik dengan kepura-puraanku, asik dengan dunia baruku dan mencoba lupa bahwa aku pernah ada di suatu tempat yang menjadi permulaan sejarah hidupku, namun saat ini kepura-puraan itu berbuntut panjang rupanya, tak disangka akan seperti ini akhirnya, aku harus memilih diantara dua hal yang berbeda, aku harus memilih antara dimana hatiku berada, dan pikiranku berada. Kupikir kepura-puraan ini hanya akan kulakukan selama aku kuliah, setelah itu aku berjanji pada diriku, kembali adalah keputusan, bukan lagi pilihan.
2 hari pasca ujian skripsi..
Selamat saudara rangga, anda mendapat penghargaan karena skripsi anda menjadi yang terbaik, setelah ini anda diminta menghadap Prof.Dr.Muhammad Idris.M.Hum.
Berita gembira itu seketika saja, seperti ribuan beban lenyap dalam sekejap, kerja keras dan usahaku selama ini terbayar. Membayangkan wajah ibu dan ayah tersenyum bangga padaku, aku tak bisa berkata-kata. Saat itu juga, aku menghadap profesor yang menjadi salah satu penguji skripsiku, rasa bangga dan penasaran menuntunku ke depan kantor beliau di lantai 3 kampus.
Kuketuk pintu kantornya, seketika beliau mempersilahkanku masuk, seolah sudah tahu yang akan datang ke kantornya hanyalah aku. Memang, beliau ini salah satu guru besar yang cukup disegani di kampus, sedikit mahasiswa yang bisa dekat atau sekedar berbincang sebentar dengan beliau.
“silahkan duduk rangga” Senyum bangga di wajahnya terpancar, aku bisa merasakannya.
“oh iya prof, terimakasih”
Langsung saja ni, jadi maksud saya memanggil kamu kemari, saya tertarik dengan skripsimu, skripsimu luar biasa bagus dan amat sayang kalau studimu harus berhenti pada level ini saja, saya punya keyakinan kamu bisa melanjutkan penelitianmu ini di thesis. Senyum bangga beliau, berita yang beliau sampaikan, membuatku merinding.
Nah, tapiiii... senyum bangga itu sedikit ditarik, ada kecemasan menimpa wajah tuanya. Menurut saya, penelitian ini lebih bagus kalau kamu lanjutkan tidak di indonesia, tapi di luar negeri, dan kalau kamu mau, saya akan membantu kamu untuk sampai kesana.  Titik.
Antara kaget, bahagia, semua bercampur, dan tanpa mempertimbangkan apapun, kuanggukan kepala, menyetujui usul profesor tersebut. Ini kesempatan emas batinku, sejak dulu aku memang sangat ingin ke luar negeri, kapan lagi bisa.
Siang itu, aku berlari sepanjang koridor kampus, sampai ke kantin, ke masjid, aku berteriak bahagia di depan teman-temanku, mereka turut bangga daan bahagia setelah tahu aku bisa s2 ke luar negeri.
Sampai di depan parkiran, tiba-tiba aku teringat sesuatu, aku teringat janjiku pada ibu, pada sekolahku, dan rindu akan kota yang kutinggalkan selama 4 tahun ini, mendadak aku menjadi bimbang dan berpikir kembali.
Jika aku ke luar negeri, gimana nasib adik-adikku, ayah dan ibu sudah pensiun dan sudah tua, siapa yang akan membantu mereka mengurus kedua adikku, sementara aku adalah anak pertama, dan aku teringat akan janji juga pada sekolah yang membesarkanku, aku akan disana dan membesarkan sekolah, lalu bagaimana dengan s2 ke luar negeri?
Namaku rangga, aku mahasiswa yang baru saja lulus, sebentar lagi akan wisuda, anggap saja itu kebahagiaan terbesar seorang mahasiswa, tapi disisi lain, aku gundah, aku cemas, aku bimbang, kegelisahan ini membuatku tak bisa tersenyum mendekati hari wisuda.
Kuliah s2 kan tidak selama sarjana, cukup 2 tahun sudah selesai, jadi tidak masalah bukan jika aku meninggalkan lagi kotaku selama 2 tahun lagi.
Bisikan satu muncul. Muncul lagi bisikan yang lain.
Bagaimanapun juga, kamu anak pertama, orangtuamu sudah tua, adik-adikmu butuh bimbinganmu, lanjut kuliah s2 yang dekat-dekat saja, tidak usah sampai ke luar negeri segala.
Sepertinya aku butuh istikharah, meminta yang terbaik pada Allah, manusia hanya bisa berencana, selanjutnya Tuhan yang menentukan.
Hari wisuda.
Keluarga besarku dari kampung datang dan menghadiri wisudaku, ayah ibuku begitu bangga ketika namaku disebutkan sebagai mahasiswa terbaik dan skripsiku terbaik. Entah itu ibu dan ayah tahu apa itu skripsi atau tidak yang jelas ketika nama anaknya disebutkan sebagai mahasiswa terbaik dan mendapat penghargaan tentu saja mereka bangga dan bahagia. Momentum wisuda yang harusnya membahagiakan bagi kebanyakan orang, tapi bagiku menjadi sebuah pintu kecemasan. Aku harap-harap cemas dengan diriku, keputusan apa yang sebaiknya kuambil, dan kabar buruknya lagi aku masih belum menceritakan perihal tawaran s2 ke luar negri pada ayah dan ibuku.
Alhamdulillah nak, perjuanganmu gak sia-sia.
Ucap ibuku dengan mengusap lembut pundakku.
Aku tahu betapa bahagianya beliau sekarang ini, aku khawatir bila mengatakannya sekarang akan menjadi beban pikirannya.
Kak, tahu gak? Adik pertamaku naya, tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
Eh, kenapa naya, tahu apa? Aku berusaha bersikap biasa saja.
Kak, besok ini aku lanjut kuliah disini, di jogja, aku keterima di universitas yang sama ama kakak.  Glek.
Naya kuliah di jogja, kenapa aku baru tahu, aku lupa tahun ini dia sudah mengakhiri masa SMA nya.
Iyakah? Kok kak rangga baru tahu si.  Jawabku masih berusaha biasa saja.
Iyah, naya besok kuliah di jogja, jadi kalau kakak mau lanjut s2 lagi di jogja kata ibu gak apa-apa, ibu ngizinin kak kuliah lagi asal harus di jogja, katanya si biar sambil jagain naya. Kata-kata naya mengalir begitu saja tanpa rasa dosa.
Bagaimana mungkin dia merasa berdosa, dia bahkan tidak tahu perasaan cemas apa yang sedang kuhadapi.
Benar bu? Aku mengalihkan pertanyaanku pada ibu yang sejak tadi senyum-senyum mencurigakan.
Iyah sayang, ayah sama ibu udah pikirin itu, kamu kalau mau s2 lagi gak apa-apa, mau sambil kerja juga boleh, pokoknya asal di jogja, tahu sendiri naya ini kan perempuan, pergaulan mahasiswa beda dengan di SMA, ibu khawatir sama anak perempuan ibu satu-satunya ini.  Ungkap ibu sambil memeluk naya.
Pada akhirnya, aku tidak sempat menceritakan tentang ke luar negri, ibu dan ayah juga tidak menyinggung tentang aku yang tidak pernah pulang, aku tidak tahu apakah ini jenis kebahagiaan atau kekecewaan.
Dan inilah aku, rangga, mahasiswa pascasarjana, masih tinggal di kost yang sama, sore yang sama, bedanya sekarang setiap 1 minggu sekali aku harus berkencan dengan perempuan paling cantik kedua dalam hidupku, memastikan kesehatannya, memastikan kuliahnya dan memastikan pergaulannya.
Jadi apakah aku masih akan punya waktu bertemu dengan kota yang membersamaiku dan menjadi sejarah masa kecilku?
Jawabannya punya. Tapi tidak sekarang, tentu saja, aku harus kembali, tapi tidak saat ini. Aku masih punya keinginan kuat itu, kelak aku janji selepas s2 ini selesai, aku tidak akan lagi terganggu dengan tawaran apapun.
Pulang, adalah jawaban, bukan lagi pilihan...
Jadi kota apa yang tak akan pernah terlupakan?
Ya, benar. Kota kelahiran.




 
;