Namanya Fatiha, dia orang jawa asli, usianya
sekarang baru 25 tahun, aktivis perempuan di kampus, sedang melanjutkan
pascasarjana dan profesinya seorang konsultan. Muda, energik, dan cerdas.
Bagaimana nak rangga, mau taaruf tidak dengan
akhwat ini.
Ungkap umi misma, membuka obrolan malam itu
dengan penuh semangat.
Sepertinya dia perempuan yang luar biasa ya
umi, saya siap taaruf dengannya. Jawabku tegas.
Alhamdulillah, nanti umi akan hubungi fatiha
dulu, besok biasanya dia mampir kemari untuk bertemu anak-anak santri. Jelas umi misma dengan senyum bahagianya.
Saya pamit dulu umi, salam buat abi, 1 minggu
lagi saya baru bisa kemari, makasih umi, assalamualaikum.
Pamitku dengan suasana hati yang mulai
deg-degan.
Iya nak, waalaikumsalam.
Jawab umi misma dengan senyum keibuannya yang
menghangatkan.
Aku rangga, usiaku 28 tahun, sudah lulus S2
dan profesiku dosen, aku juga buka usaha bisnis kafe woman only, kafe khusus
para wanita yang ingin menghabiskan waktunya di kafe dengan bebas karena
semuanya khusus perempuan. Tujuanku untuk berdakwah pada kaum perempuan, karena
di setiap minggunya di kafe ada pengajian khusus perempuan. Di usiaku yang
masih kepala 2 ini aku ingin segera menunaikan sunnah Rosul, untuk itu aku
meminta bantuan umi misma, perempuan hebat dan keibuan yang juga tidak lain
adalah bu lekku. Abi, panggilan untuk suami umi misma, adalah kakak
pertama dari ayahku, yang tidak lain berarti pak lek. Aku lebih senang
memanggil keduanya dengan panggilan abi dan umi, sebab mereka adalah pengasuh
pondok pesantren khusus putri di jogja, namanya pondok pesntren darul qalam.
Hari ini umi misma mengenalkanku dengan
seorang perempuan yang luar biasa, meskipun aku tidak mengenalnya dan belum
pernah bertemu dengannya, tapi mendengar umi misma menceritakan tentangnya
membuatku kagum dan memutuskan untuk bertaaruf dengannya. Perempuan mana yang
hari ini mau jadi aktivis kampus di usia yang sudah 25, usia perempuan yang
kebanyakan akan memilih segera menikah.
***
Assalamualaikum umi, apakabar umi, sudah satu
minggu ini tidak bertemu umi kok rasanya saya kangen.
Seorang perempuan dengan balutan gamis dan jilbab
panjang coklat tiba-tiba muncul dari pintu asrama putri darul qalam.
Waalaikumsalam, alhamdulillah nak fatiha,
akhirnya mampir juga kesini, umi juga kangen, ada sesuatu yang ingin umi
sampaikan.
Ungkap perempuan yang dipanggil umi.
Apa ada ya umi, kok saya jadi khawatir, ada
masalah lagi dengan anak?Biar anaknya ketemu dulu dengan saya.
Tanya perempuan yang dipanggil fatiha
penasaran.
Nak fatiha ini yang dikhawatirkan selalu anak
santri, bukan, ini tidak ada hubungan dengan santri, tapi tentang nak fatiha, kehidupan
nak fatiha.
Jelas umi.
Kehidupanku? Maaf terkait apa umi?
Tanyanya penasaran. Wajahnya mendadak memerah
cemas. Jauh dilubuk hatinya ia mulai merasa khawatir.
Begini, ada laki-laki baik yang sedang mencari
calon istri, anaknya baik, udah lulus s2, sekarang jadi dosen, dia juga punya
usaha, usianya saat ini 28 tahun, dan dia ingin taaruf dengan nak fatiha.
Bagaimana nak fatiha, setuju ndak umi taarufkan.
Ungkap umi dengan penjelasan yang cukup
bijaksana.
Ya ampun umi, saya kira ada apa.
Ia mulai bernafas lega. Rasa khawatirnya
mendadak sirna. Wajah tegangnya meregang.
Loh, umi serius nak, di usia nak fatiha
sekarang ini diluar sana banyak gadis yang menginginkan segera menikah,
seharusnya nak fatiha juga begitu. Jelas umi misma memprovokasi.
Umi ini, jodoh kan sudah ada yang ngatur, saya
tidak khawatir kok umi.
Ungkap fatiha berusaha menolak secara halus.
Dalam hatinya juga berpikir soal menikah, siapa yang tak ingin menikah dan
bahagia berkeluarga, tapi ada sesuatu hal yang menahannya. Sesuatu yang ia
sembunyikan sejak dulu dari siapapun. Dan bila sudah membahas soal pernikahan
sampai tahap taaruf, sesuatu itu mau tak mau akan tersingkap, dan masa lalu
kelam yang sudah ia kubur mati-matian akan membuatnya teringat kembali.
Apa ndak dicoba dulu nak.kalau ndak cocok kan
boleh tidak dilanjutkan.
Bujuk umi dengan wajah kecewa yang berusaha
ditahannya.
Umi, saya mohon maaf sudah mengecewakan umi,
tapi untuk saat ini saya belum memikirkan soal menikah, masih ada hal lain yang
harus saya kerjakan. Kalau sudah waktunya, saya pasti akan menikah.
Ungkapnya dengan wajah penuh sesal. Sejujurnya
ia tak ingin mengecewakan apalagi sampai menyakiti hati umi misma, perempuan
paruh baya yang sudah dia anggap ibu kandungnya sendiri. Tapi apa mau dikata,
ketakutan masa lalu membuatnya takut untuk taaruf.
Baiklah nak, umi tak bisa memaksa, walaupun
umi sudah begitu bersemangat menceritakan nak fatiha pada pihak laki-laki
karena umi merasa kalian sama-sama cocok, tapi keputusan tetap ada di tangan
nak fatiha.
Jelas umi dengan semburat kecewa di wajahnya
yang tak bisa lagi disembunyikan.
Sekali lagi maafin saya umi.
Wajah penuh sesal fatiha pun tak bisa ia
sembunyikan.
Akhirnya fatiha pun pamit pulang. Suasana
kamar umi misma kembali lengang, yang tersisa hanya umi misma yang merasa
kecewa dengan keputusan fatiha yang tak diduganya. Entah ia merasa ada sesuatu
yang disembunyikan fatiha darinya.
Siang itu menjadi siang yang canggung. Tidak
hanya bagi umi misma, sepulang dari asrama darul qalam, fatiha, gadis sederhana
yang punya lesung pipi di wajahnya itu pun merasa bersalah, pulang ke
kontrakannya, ia terduduk lemas di kursi. Tidak ada alasan untuk menolak
seseorang yang punya niat baik untuk taaruf, apalagi orang yang dikenal umi
misma dan suaminya, pasti orang ini adalah laki-laki yang baik dan soleh. Dia
juga tidak punya alasan untuk menunda pernikahan. Namun masa lalu kelamnya
membuat ingatannya kembali kalau sudah pembahasan soal pernikahan. Kalau sudah
soal taaruf, ia masih tidak punya
keberanian untuk menceritakan siapa dia sebenarnya. Ia takut ketika calon
laki-laki yang ingin taaruf dengannya tahu siapa dia sebenarnya justru akan
memilih pergi dan tidak melanjutkan taaruf.
***
1 minggu kemudian, di asrama darul qalam.
Assalamualaikum, umi, abi..
Seorang lelaki berkacamata muncul dibalik
pintu.
Waalaikumsalam, eh rangga, udah pulang dari
bandung yah, abi lagi ngisi pengajian di masjid. Mari masuk nak.
Jawab umi dari dalam kamarnya.
Saya ganggu yah umi, maaf yah, ini tadi mampir
sambil bawa oleh-oleh dari bandung.
Jelas rangga sambil memberikan sekantong
plastik dodol dan mochi, makanan khas jawa barat.
Ndak kok, umi Cuma lagi nonton berita sambil
nunggu abi pulang dari masjid. Matur nuwun nih rangga baik sekali bawa
oleh-oleh segala buat umi sama abi. Gimana kabar ibu dan bapak di rumah?
Jawab umi sembari menerima plastik dari tangan
rangga.
Ibu bapak baik-baik saja umi, tadi saya juga
pulang dulu ke rumah, ngobrol sama bapak, terus ke rumah saya istirahat dan
lanjut ke sini deh.
Jelas rangga.
Oh syukurlah kalau begitu.
Balas umi, kali ini dengan raut wajah yang
berbeda.
Umi kenapa, kok mendadak wajahnya jadi lemes
gitu, umi sakit?
Tanya rangga khawatir.
Bukan nak, umi baik-baik saja. Ini loh soal
taaruf dengan perempuan bernama fatiha itu, sudah umi sampaikan maksud baik
rangga, sudah umi jelaskan kondisi rangga sekarang tapi umi ndak nyangka dengan
jawabannya. Dia bilang belum memikirkan untuk menikah dalam waktu dekat ini
jadi dia menolak untuk taaruf.
Jelas umi dengan raut wajah kecewa yang sudah
ia simpan berhari-hari lalu.
Begitu ya mi, tapi memang jodoh kan tidak bisa
dipaksakan, saya berharap ada jalan bisa mengenalnya lebih dalam, entah
bagaimana caranya biar diatur Allah.
Rangga menjawab dengan tenang. Meski jauh
dalam hatinya ia juga kecewa, tapi ia merasa menemukan sesuatu yang baru, dan
ia ingin semua mengalir dengan semestinya, tidak perlu dipaksa.
Dan sejak kejadian gagalnya taaruf itu semua
berjalan seperti biasanya, rangga masih sibuk dengan bisnis kafe dan menjadi dosen
di universitas. Sementara fatiha juga tak kalah sibuk, ia sedang proses
merampungkan thesisnya, menulis buku tentang perempuan di ranah publik dan
tetap aktif menjadi konsultan untuk para wanita baik kalangan remaja maupun ibu
beranak lima. Dan umi misma, ibu pondok pesantren darul qalam, yang menjadi
penghubung taaruf mereka perlahan mulai melupakan kekecewaannya dan tetap akrab
dengan fatiha seperti biasanya. Hingga suatu hari, takdir mempertemukan kedua
insan yang gagal taaruf itu. Kalau memang jodoh bagaimana pun jalannya Allah
pasti akan mempertemukannya.
Suatu siang di ruang dosen pascasarjana
universitas negri ternama di kota Jogja, kampus tempat fatiha melanjutkan s2
nya. Saat itu fatiha sedang sibuk-sibuknya bimbingan dengan dosen pembimbing
thesisnya. Tapi di saat-saat penting itulah profesor yang membimbing thesisnya
menyampaikan berita tentang kepergiannya ke Malasyia. Ada pertemuan penting
ilmuwan dan cendekiawan ke negri jirah itu. Dan kepergian itu tidak hanya satu
dua hari tapi sekitar 6 bulan, karena setelah pertemuan di Malasyia, profesor
pembimbingnya akan melanjutkan perjalanannya ke Australia, ada semacam
pelatihan atau training 6 bulan untuk profesor dan guru besar. Berita itu
seperti petir menyambar, fatiha terduduk lemas mendengarnya. Namun di
tengah-tengah kaget dan kesalnya ia dengan kepergian dosen pembimbingnya,
profesor pembimbingnya itu mengatakan akan ada dosen pembimbing penggantinya,
masih muda, cerdas dan lebih kompeten dengan bidang yang sekarang menjadi topik
penelitian fatiha, yaitu tentang gender dan kesetaraan. Profesornya mengatakan
dosen ini sebenarnya dosen baru, usianya juga masih muda, tapi karena kualitas
dan kecerdasannya, dalam waktu singkat ia sudah diangkat jadi doktor.
Mendengar penjelasan tentang dosen pembimbing
barunya fatiha menjadi bergairah dan penuh semangat, ia tak sabar ingin segera
bertemu dengan dosen pembimbing barunya, ia ingin segera menyelesaikan
thesisnya, ingin segera lulus, dan hal lainnya, kalau memang muda, ia bisa
nyaman berdiskusi dengan dosen pembimbingnya itu, karena biasanya, dosen muda
itu ghirah keilmuannya masih di masa-masa keemasaan. Artinya penuh semangat
yang berapi-api, maklum jiwa muda.
Setelah mendapat nomor baru dosen pembimbing
barunya dari profesor pembimbingnya, ia segera menghubungi dan menanyakan kapan
bisa bertemu dan mendiskusikan tentang thesisnya. dan sore itu, dua insan yang
gagal taaruf itu bertemu, fatiha tidak tahu, laki-laki baik yang sudah ia tolak
tawarannya untuk taaruf itu adalah dosen pembimbing muda yang ingin segera ia
temui. Tuhan memang selalu punya rencana terbaik untuk mereka.
Sore itu, langit masih sama, cerah, tidak ada
tanda-tanda akan turun hujan, tapi suasana sore ini akan ada yang berbeda, ada
takdir baru yang tertulis. Fatiha tengah bersemangat menuju perpustakaan, dosen
pembimbing barunya itu mengatakan untuk bertemu di perpustakaan, sekalian dia ingin
mengembalikan buku pinjamannya. Dan ketika fatiha sampai di depan pintu
perpustakaan besar dan 3 lantai itu, seorang laki-laki muda, memakai setelan
kemeja panjang coklat muda, celana hitam panjang sedang duduk menghadap
jendela, tengah asyik membaca buku, melihatnya fatiha sudah langsung bisa
menebak itulah dosen barunya itu, sebab tadi di sms dikatakan ia menunggu di
lantai 1 memakai kemeja coklat.
Dengan nafas tersengal, ia menyapa lebih dulu
dosen pembimbing barunya itu.
Assalamualaikum, permisi, apa bapak yang akan
menjadi dosen...
Belum selesai kalimatnya terucap, ia mendadak
berdiri mematung ketika dosen pembimbing barunya itu berbalik badan menjawab
salamnya dan mereka bertatap mata secara langsung.
Sore itu takdir baru tertulis, dua insan yang
gagal taaruf justru dipertemukan di waktu dan momen yang tidak pernah mereka
duga.
Fatiha mendadak kikuk, ia tertunduk malu,
semangat yang ia bawa untuk bertemu dosen pembimbing barunya itu seketika sirna
berubah menjadi rasa malu dan canggung.
Waalaikumsalam, iya saya dosen pembimbing baru
anda, saya rangga. Ada yang bisa bantu?
Jawab rangga, dosen pembimbing baru fatiha
sekaligus laki-laki yang ingin taaruf dengannya tapi gagal dengan tenang
seperti tidak ada yang terjadi.
Fatiha mengenal wajah rangga, ketika umi misma
mengenalkan tentang laki-laki yang ingin taaruf dengannya sekaligus juga umi
memperlihatkan foto rangga di handphone umi misma, foto saat rangga di wisuda,
juga ada foto rangga sendirian di depan sebuah kafe, kafe milik rangga.
Dan fatiha mengingatnya, ia mengingat jelas
wajah yang sejujurnya ingin juga ia kenal, ingin bertaaruf tapi lagi-lagi
alasan masa lalu membuatnya memilih menolak. Sementara rangga, meskipun ia juga
tahu gadis itu adalah fatiha, mahasiswa bimbingannya, tentu saja ia tahu,
selain umi misma juga memperlihatkan foto fatiha, profesor pembimbing yang
meminta menggantikannya menyerahkan data pribadi fatiha termasuk di dalamnya
ada foto ukuran 3x4, dengan jilbab merah tua, gadis itu tersenyum manis di
foto, tapi rangga sudah berjanji pada dirinya akan berpura-pura tidak tahu, ia
tak ingin keadaan itu membuat mereka canggung, ia juga ingin mengenal lebih
jauh tentang gadis itu, sementara itu ia harus berpura-pura tidak terjadi
apapun atau tidak pernah mengenal fatiha sebelumnya.
Jadi siapa namanya mba? Ada yang bisa saya
bantu?
Pertanyaan rangga membuat fatiha tersadar dari
kekagetannya.
Eh, em, iya nama saya fatiha, jadi saya
mengangkat tema gender dan kesetaraan ini karena saya merasa perlu membenarkan
pemahaman masyarakat terkait kesetaraan yang dimaksud dalam Islam, isu ini
sedang hangat-hangatnya dalam dunia keilmuan kita saat ini.
Dan mengalirlah diskusi keduanya. Akting hebat
rangga membuat fatiha lebih nyaman berbicara, ia perlahan melupakan tentang
rasa malu dan canggungnya, ia berbisik dalam hatinya, mungkin saja rangga tidak
tahu fatiha, jadi dia bisa bersikap biasa saja, karena itu aku juga harus
bersikap biasa saja. Dan rangga memang bersikap profesional, dalam hal ini ia
posisinya sebagai dosen pembimbing dan fatiha mahasiswanya, jangan sampai soal
hati menganggu ranah keilmuan mereka, apalagi ini terkait thesis fatiha, hal
penting yang tidak ingin ia ganggu. Selama 1 bulan lebih intensitas pertemuan
mereka jadi lebih sering, dan thesis fatiha sudah hampir selesai, tinggal
menunggu panggilan sidang, sekitar 1 minggu lagi mungkin ia bisa sidang thesis.
Sementara jauh dalam hati rangga, ketertarikannya pada gadis itu tidak
berkurang sedikitpun justru bertambah setiap harinya, begitu juga fatiha,
diam-diam dalam hatinya ia juga menyukai rangga. Dan selepas sidang, ia
memantapkan hatinya untuk bertemu dengan umi misma, menyampaikan keputusan yang
mengejutkan.
Ia mengunjungi umi misma dan basa basi
menceritakan kebahagiaannya tentang sidang thesisnya yang sukses, sekitar 1
bulan lagi ia wisuda pascasarjana. Dan ia juga menyampaikan tentang hal
mengejutkan umi misma, hal yang sudah ia pikirkan matang-matang sejak sebelum
sidang thesis. Ia ingin bertaaruf dengan rangga, laki-laki yang ia tolak
beberapa bulan lalu. Dan meminta maaf pada umi bahwa keputusan ini baru bisa ia
sampaikan sekarang, mungkin karena ia juga ingin melepas tanggungjawab s2 nya
lebih dulu baru menikah, ditambah ia juga diam-diam sudah menyukai rangga,
dosen pembimbingnya.
Akhirnya keesokan harinya, di malam jumat,
kedua insan itu bertemu lagi, bukan sebagai dosen dan mahasiswa tapi sebagai
dua orang yang sudah menyimpan perasaan dalam hatinya masing-masing dan berniat
baik untuk menjalankan sunnah Rosul bila taaruf ini berjalan lancar dan Allah
menghendaki.
Rangga mendahului percakapan, ia menjelaskan
tentang dirinya, kesibukannya, hobbynya sampai rencana-rencana masa depannya ia
jelaskan pada fatiha, dengan maksud bila memang fatiha kelak menjadi pendamping
hidupnya bisa tahu impian laki-laki berkacamata itu.
Giliran fatiha, perasaan yang ada dalam
hatinya membuatnya lupa tentang siapa dirinya, tentang masa lalunya, dan pada
saat gilirannya tiba memperkenalkan diri, mendadak ia gemetaran, tangannya
berkeringat dingin, tenggorokannya tercekat, keberaniannya hilang dalam
sekejap. Tentu saja sikap aneh fatiha itu membuat umi misma, abi soleh dan
rangga menjadi heran dan terkejut. Mengapa tiba-tiba fatiha menjadi ketakutan.
Perasaannya yang tulus pada rangga dan
keinginannya untuk menunaikan separuh agama memunculkan keberaniannya meski
berat, meski kata-kata tercekat di kerongkongan, ia berusaha tetap buka suara,
dan puncaknya, air mata yang menjadi pertanyaan besar yang hadir pada malam itu
seketika mengalir deras di pipi gadis sederhana sekaligus menyimpan tanya itu.
Semua yang hadir heran, ada apa dengan fatiha,
gadis berani, cerdas dan tangguh itu, malam ini mendadak ia menjadi terlihat
ketakutan, khawatir dan menyimpan banyak tanya.
Ada apa nak? Nak fatiha sakit? Kenapa
tiba-tiba menangis?
Umi misma yang duduk berdekatan dengan abi
soleh berpindah duduk mendekati fatiha, mengusap punggungnya lembut dan mencoba
bertanya dengan perlahan-lahan tentang apa yang ia rasakan.
Ia sadar betul, masa lalu adalah ingatan pahit
yang tak bisa lenyap, tapi ia akan tetap ada dalam ingatan, hanya saja apakah
masa lalu itu bisa diterima oleh rangga, laki-laki yang sedang bertaaruf
dengannya, tapi menyimpannya sendirian adalah juga dosa terbesarnya sebab
menyimpan aibnya pada laki-laki yang mungkin saja akan menjadi pasangan
hidupnya. Air mata dihapusnya dengan tissue yang ada di atas meja tamu. Ia
beranikan diri buka suara.
Mas rangga, umi, abi, saya minta maaf kalau
sikap saya menganggu semuanya, saya takut apa yang saya ceritakan tidak bisa
diterima oleh mas rangga, saya takut mas rangga justru akan membatalkan taaruf
ini setelah tahu siapa saya sebenarnya.
Alhamdulillah saya sekarang memang muslimah
yang bisa menjalankan ibadah dengan baik meskipun saya tidak tahu Allah akan
menerima ibadah saya atau tidak, tapi saya sudah berusaha berubah sejak 10
tahun yang lalu. Saya bisa kuliah dan belajar dengan baik pada saat sekarang
berkat usaha saya ingin berubah dan mencari beasiswa tanpa kenal lelah. Saya
juga bisa menjadi konsultan untuk para wanita yang bermasalah karena masa lalu
saya yang bermasalah. Umi, abi, mas rangga, saya sudah tidak perawan lagi.
Tercekat. Air matanya tumpah, fatiha
sesenggukan berusaha menahan kesedihan dan lukanya, sementara ia ingin
melanjutkan penjelasannya, umi misma sudah memeluknya erat.
Saya dulu gadis bermasalah ketika SMA,
pergaulan saya buruk, saya pernah pacaran dengan seorang laki-laki sampai
kejadian buruk itu menimpa saya, karena khilaf dan bodohnya saya ketika itu
saya rela begitu saja melakukan dosa besar dengan laki-laki yang waktu itu saya
cintai, selepas itu dia malah meninggalkan saya karena saya memintanya menikah
dan dia tidak mau. Alhamdulillah Allah masih memberikan saya hidayah dan
petunjukNya, saya tidak sampai hamil dan semenjak itu saya pindah ke pesantren
dan belajar ilmu agama hingga bisa sampai sekarang seperti ini.
Suasana di ruang tamu umi misma lengang. Tidak
terkecuali rangga, umi dan abi menahan nafas berat. Mereka tidak pernah menduga
hal seperti ini bisa terjadi pada fatiha dan tentu saja ini membuat rangga
kaget dan down.
Rangga meminta pamit pulang lebih dulu, forum
taaruf malam itu ditutup, tidak ada kata-kata apapun, rangga tidak menolak atau
menjawab, ia hanya melangkah pergi dengan lemas dan kaget bukan main. Umi misma
memeluk fatiha dan menenagkannnya, abi soleh masuk kamar.
15 menit kemudian, fatiha pamit pulang.
Tangisnya sudah reda, tapi sedih dan kecewa di hatinya tentu saja tidak hilang,
ia memang harus siap dengan kenyataan rangga pasti akan terkejut dan
menolaknya.
1 hari kemudian.
Pagi-pagi buta, fatiha terbangun, ia masih
dirundung duka, hanya do’a yang bisa ia panjatkan padaNya, diberikan jalan
kemudahan untuk semua masalahnya. Dan itulah ajaibnya do’a, saat itu juga Tuhan
kabulkan.
Ada 1 pesan masuk di hpnya.
Assalamualaikum.. Fatiha yang disayang Allah,
sepanjang hari saya berdo’a pada Allah diberikan jawaban atas keresahan saya,
dan Allah memberikan kamu sebagai jawabannya. Saya tidak peduli dengan masa
lalumu seburuk apapun itu, saya hanya tahu fatiha yang sekarang, muslimah baik
dan cerdas, dan saya ingin kamu di masa depan. Kalau kamu siap menjadi ibu dari
anak-anak saya kelak datanglah ke rumah umi misma, saya sudah menunggumu disini
dengan pak penghulu. Tak perlu dandan, kamu sudah cantik kok J.
Tanpa ragu, fatiha segera berganti pakaian dan
meninggalkan kamarnya yang masih berantakan, menuju seseorang yang ia rindukan.
Seseorang yang akan menggenapi hatinya dan menerima semua kekurangannya.